MENSETIAI PANGGILAN TUHAN SEBAGAI BRUDER FIC (Br Ag. Giwal S. FIC)


"Saya dipanggil bukan untuk sukses,  tetapi untuk setia pada panggilanku"
BR AG. GIWAL S. FIC


Kamis 15 Februari 2018 saya mendapat  pesan WA dari Mbak Ika (Komsos Pelem Dukuh) yang intinya meminta saya untuk menulis perjalanan panggilan sebagai Bruder FIC. Tulisan akan dimasukan dimedia komsos Pelem Dukuh. Saya menghiyakan atau menyanggupkan diri, sekalian ada keempatan untuk memperkenalkan diri via media sosial tentang Kongregasi Para bruder FIC. Dalam tulisan ini saya mencoba untuk menulis apa saja yang bisa saya ingat dari perjalanan hidup saya. Sifatnya adalah sharing maka mungkin alur dan isi kalimat tidak sistematis. 
Nama lengkap saya: Br. Agustinus Giwal Santoso FIC, dengan sebutan Br. Giwal. Pada tanggal 2 Juli 2018 saya genap 26 tahun menjalani hidup bakti sebagai Bruder FIC. Sekarang saya tinggal di Komunitas Para bruder FIC Jln. Kartini No 1 Muntilan. Nah sekarang saya mau sharing pengalaman iman, pengalaman menapaki perjalanan hidup saya mulai dari keluarga hinggap terpikat oleh FIC. 
Tgl 11 Agustus 1970 aku dilahirkan dari rahim Simbok Bothak sebutan Ibuku yang mempunyai nama asli Sakiyem. Sebuah desa kecil dan terpencil wilayah Pegunungan Menoreh. Desa terisolir masuk wilayah Stasi Pelem dukuh. Menurut cerita dari kedua orang tuaku, waktu saya dilahirkan bertepatan pada Hari Legi dan Bulan Sawal, maka Pak Somo nama keren bapak saya memberi nama saya Giwal. Kalau cerita dari simbok dengan versi yang lain mengapa saya dinamakan Giwal. Saat saya dilahirkan ada tetangga yang namanya Lik Wagi. Waktu itu Lik Wagi ikut membantu simbok menumbuk padi. Pada saat menumbuk padi Lik Wagi ini ketriwal kena halangan tanganya ketumbuk alu. Karena Lik Wagi ketriwal saat membantu simbok yang sedang melahirkan, diambillah kejadian itu menjadi nama saya Giwal.  Sedangkan nama Baptis Agustinus diambil dari bulan kelahiran yaitu Bulan Agustus. Giwal sebuah nama yang sangat istimewa, karena sampai sekarang saya belum pernah mendengar orang yang namanya Giwal. Bapak Somorejo seorang tukang kayu ayahku membesarkanku dalam pengetahuan dan pekerjaan tukang kayu. Mungkin dari situlah sekarang saya mempunyai hobi mengukir bagian dari tukang kayu. Simbok seorang pekerja keras mendidik saya dalam nuansa kedisiplinan yang tinggi dan berbau militer. Kata katanya pedas dan keras dan kadang disertai hukuman fisik kalau saya melalikan tugas. Misalnya lupa mencari rumput karena asik main bola plastik, pasti akan dapat semprotan wareg mangan bal po piye disertai jeweran atau sabetan dari simbok saya. Simbok saya seingatku tidak dapat membaca tulisan tetapi tajam dalam membaca situasi. Walaupun dia tidak dapat membaca dan menulis, tetapi dalam hal hitung-mengitung kecepatannya bisa menyamai kalkulator tipe FX 10. Prinsip yang sangat sederhana dalam hidupnya, tidak dapat membaca asal dapat membesarkan dan mendidik anaknya menjadi anak yang penurut kepada orang tua sudahlah cukup. Itulah keutamaan atau prinsip simbok saya yang terkenal dengan tape dan gebleknya yng setiap hari legi ia jual ke pasar Jeblok. 

Sungguh mengherankan dari 10 orang jumlah saudara kandungku kedua orang tuaku dapat membesarkannya, mendidiknya, membekali masa depan anak-anaknya, hanya dengan bekal hidup dari bercocok tanam, tukang kau, dan bakul tape geblek. Bercocok tanam dengan lahan yang tidak lebih dari 1 hektar. Sepengatahuan saya di Kalurahan Purwosari wilayah yang membawahi desa Promasan tempat tinggal bapak saya sekarang, keluarga yang memiliki anak sampai mencapai 10 ya hanya Pak Somo dan Mbok Sakiyem. Hebaat... Kakak saya ada 5 dan 4 adik, pas sepuluh termasuk saya yang no ke 6. Sepuluh ditambah bapak dan simbok menjadi pas satu dusin dua belas.  Sepuluh saudaraku empat perempuan dan enam laki-laki. Tetapi kakak pertamaku sudah dipanggil Tuhan karena sakit kangker payudara, dikemo dan tidak berhasil pada tahun 2007. 
Pekerjaan Bapak sebagai tukang kayu, namun juga tidak meninggalkan pekerjaan sebagai seorang petani. Jiwa wirausaha simbok sejak saya kecil sampai sekarang berjualan makanan. Selain jual tape, geblek tape pada event-event ketika ada warga yang sedang mempunyai hajat mengadakan tontonan simbok biasanya jualan kupat sambel. Jiwa dagang, tukang kayu dan tani banyak diwariskan kepada hampir semua saudaraku. Jeminten kakak pertama (almarhum) yang mendapat pasangan Mas Sarjono pekerjaan tani, mereka dikarunia 2 anak laki-laki, Lorentinus Sigit Purnomo dan yang kedua Yosep Jhonata.  Saman kakak kedua mewarisi bakat bapak sebagai tukang kayu disamping bertani, bersama istri Mbak Tatiana Suhartinem mempunyai 2 anak laki juga yaitu Sudarto dan Aris Wibowo.  Tarimen kakak ketiga dagang, dia telah ditinggal suaminya Mas Margono lagi-lagi dikaruniai 2 anak laki Gonang Adi Perjuangan dan Enggar Dewantoro. Koso kakak keempat juga dagang, dia sempat pernah memiliki 2 istri. Istri pertama yang sudah bercerai namanya Erna mempunyai 1 anak diberi nama Darto. Sedangkan istri kedua Mbak Ernawati sering dipanggil Eeng, sekarang mempunyai 2 anak Bobby Essanto dan Maria Febiana. Kurniati pekerjaan dagang, yang dulu nama aslinya Kurniem adalah kakak keenam, dia berpasangan dengan Mas Parmanto dikaruniai 2 putri Kurnita Parama Lestari dan Kristina Parama Lestari.  Nah saya anak ke 6 tidak beristri tetapi memiliki banyak anak. Sekarang jumlah anak saya yang ada di Asrama SMA Van Lith saja ada 572. Adik saya yang pertama Supriyono sekarang menjadi bagian dari anggota Kongregasi  Romo SVD. Adik kedua namanya Mulyadi pekerjaan harian tukang kayu dan tukang batu, satu satunya keluargaku yang beragama Islam tetapi hatinya tetap Katolik mempunyai satu anak laki-laki, istrinya pedagang. Adik ketiga Suwarno berpasangan dengan Tiwik yang sebenarnya masih mempunyai hubungan keluarga dari Bapak. Dia dikarunia 2 putri Kristina Vani Pratiwi dan Katarina Versely Giovani. Adik bungsu Warniningsih yang sudah berpisah dengan suaminya dikaruniai 2 putri, Silvestra Chika Setiani Cahyaningtyas dan Theresia Angel Esparingga.
Masa kecil saya hidup dalam lingkungan keluarga besar. Daerah pegunungan berbatu, masuk dalam wilayah pedesaan pedukuhan Karangrejo yang masih sangat terisolir. Dibesarkan dalam lingkaran pola hidup yang masih tergolong primitif. Sudah menjadi hal yang biasa anak usia sebelum masuk SD sudah dilatih bekerja yang memerlukan ketahanan fisik, seperti: mencangkul, merumput, mencari kayu bakar, mencari air bersih untuk masak dll.  Masih segar di ingatan ketika masih kanak-kanak belum sekolah, setiap sore sebelum matahari terbenam saya selalu diberi tugas untuk nyapu halaman kemudian membersihkan semprong kaca lampu teplok dan lampu keceran, karena waktu itu belum ada listrik.  Tidak jarang juga, sepulang dari mencari kayu bakar harus membantu simbok untuk nutu padi, nutu gaplek persiapan masak sore. Makanya yang namanya nutu, ngglepung, inter-inter, encek-encek, ani-ani yang merupakan pekerjaan seorang perempuan tidak asing bagiku.

Nuansa hidup di Pegunungan Menoreh, sangat lekat dengan apa yang ada di alam.  Tak jarang aku lakukan mandi di sungai setiap pulang dari sekolah aku mengistilahkan siblon/ renang, minum air mentah di belik kali, makan lempung putih sebagai penganti snack, mencari jangkrik untuk dipelihara, mencari belalang bisa dibakar dan dimakan uenak lho..... itulah dunia yang menghiasi masa kecilku. Desa  Promasan, Pedukuhan Karangrejo, Kalurahan Purwosari, Kecamatan Girimulyo, tempat aku dilahirkan termasuk desa tertinggal. Jalan-jalan utama hanya  setapak kaki, di perbukitan dan ketika musim penghujan menjadi kawasan rawan longsong/ gunturan.  
Saya sungguh mau bersekolah pada SD sudah termasuk usia kadaluwarso. Saya masuk sekolah dasar pada usia 8 tahun langsung masuk ke kelas 2, di sebuah SD Negeri Kalurahan Banjarsari, Kecamatan Samigaluh. Sebelumnya saya disekolahkan mulai dari kelas satu di SD Kanisius Pelem Dukuh. Jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh, jalan kaki untuk ukuran anak kecil butuh waktu 1,5 jam dengan jalan cepat. Saya tidak kerasan sekolah di SD pelem Dukuh,  aku ngambek tidak mau sekolah selain jarak tempuh yang jauh, gara-gara aku dikecewakan oleh guru kelasku waktu itu. Ketika itu saya dimarah-marahni oleh guru saya dengan kata-kata yang cukup menyakitkan, penyebabnya adalah saya tidak mengerjakan PR dan lupa membawa buku. Bapak guru tersebut mengatakan demikian: dasar bocah keset, PR ora digarap, buku ora nggowo, pensil ora ndhuwe, mambu pesing meneh, ngono kok mau sekolah”, terus dia memalingkan wajahnya dengan menoyor kepalaku. Heheheheh  memang waktu itu saya tidak bawa buku, pensil tidak bawa, PR tidak mengerjakan, dan hehe malamnya saya ngompol dan tidak ganti celana, ya sudah barang tentu bapak guruku mengatakan baunya kecing. Sejak dari kejadian itu aku ngambek tidak mau lagi sekolah. Kalau waktunya berangkat ke sekolah ya berangkat tetapi mandek di jalan, selalu bohong dengan orang tua. Sesuatu yang dipendam lama-lama ketahuan juga, karena ortu dipanggil ke sekolah, diberi tau kalau Giwal sudah satu bulan tidak masuk sekolah. Sudah barang tentu saya mendapat marah besar dari bapak apa lagi simbok. Tetapi aku tetap tidak mau sekolah kalau harus masuk di sekolah, karena takut dengan bapak guru.
Satu tahun kemudian saya baru mau sekolah di SD Negeri Ngaran. Hebatnya saya langsung diterima di kelas 2, mungkin karena faktor usia sudah 8 tahun. Sebenarnya SDN Ngaran ini lokasinya lebih jauh dibanding dengan SDK Pelem Dukuh. Di SDN ini saya merasa diterima dengan baik oleh bapak2 guru. Seingat saya waktu itu sekolah tidak memakai seragam, tidak pakai sepatu, wis pokoe bebas. Saya juga belum mengenal tas buku, maka kalau membawa buku biasanya saya sengkelit, masukkan ke celana bagian belakang/ di punggung. Kalau bukunya lebih dari satu, cara membawanya pakai tali dari pelepah pohon pisang diserempangkan di pundak dan buku dicantelakan dalam tali itu. Tiada rotan akar pun jadi. Gedung sekolah  yang berdidingkan gedek/ dinding yang terbuat dari bambu, dengan tiang dari bambu juga, membuat badan dingin ketika ada hujan tiba. Seingatku dulu sekolahku tidak ada wc, kalau anak2 mau pipis ya udah di sudut kebun sekolah jadilah. Bapak Ibu guru yang berdedikasi sangat tinggi telah mengajariku untuk membaca, menulis, dan berhitung. Aku termasuk anak yang nakal maka tidak jarang guruku sering memukul pantatku dengan tuding, kalau aku melakukan pelanggaran.  Saya sering bikin ulah, mencari-cari masalah, kalau bisa melanggar tata tertib merasa bangga. Pernah suatu pagi hari aku dipukul dengan penghapus oleh guru kelasku, gara-gara aku belum mengerjakan pekerjaan rumah matematika, waktu itu saya kelas tiga. Tetapi dengan dipukul itu aku menjadi tertantang, PR matematika aku kerjakan, dan waktu ulangan saya satu-satunya yang mendapat nilai 10. Mungkin kalau semua guru memukul aku nilaiku jadi bagus semua ya. Karena biasa dipukul oleh simbok di rumah maka ketika dipukul bapak guru di sekolah ya terasa biasa saja, waktu itu pukulan bagian dari sarana pembelajaran. Dengan metode pembelajaran yang masih dengan kekerasan justru mendorong saya menjadi anak yang rajin bersekolah. Setiap pukul 05.00 awal hari saya sudah harus berangkat sekolah supaya tidak terlambat. Melaju ke sekolah dengan jalan kaki tanpa alas kaki dengan lokasi sekolah cukup jauh, saban hari menjadi acara rutin. Pada waktu itu rasanya bangga sekali bisa menjadi seorang murid sekolah, maklum di desa saya masih banyak anak yang tidak sekolah. Apalagi ketika saya dapat menghapalkan nama-nama menteri, nama raja-raja dan hafalan-hafalan yang lain wah rasanya sudah pandai sekali. Tahun 1983 saya menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Banjarsari Samigaluh, sekolah yang bebas biaya waktu itu. Soal nilai saya tidak tahu persis malahan yang jelas lulus.
Kebanyakan dari tema-teman sedesa, ketika lulus dari SD ada beberapa yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Bahkan ada 1 teman, dia lulus SD langsung dikawinkan oleh orang tuanya, mereka sudah berani membangun hidup berkeluarga. Saya pikir ada suatu paradigma keliru dalam tata hidup bermasyarakat di masyarakat saya. Bahwa bersekolah itu belum menjadi suatu kebutuhan yang penting untuk cita-cita masa depan.  Tradisi yang hidup dan terjadi turun temurun terwariskan dari generasi ke generasi. Pandangan bahwa bersekolah hanya akan membuat miskin karena menghabis habiskan biaya. Lebih baik membantu  orang tua kerja diladang, memelihara kambing, sapi, yang bisa menghasilkan, hasilnya langsung terasa. Sekarang saya bisa mengerti, kala itu kalau siang-siang saya membaca buku, pasti simbok saya akan mengatakan: "dasar cah keset yah mene maca buku,  nek moco lan sinau wayahe nek wis wengi". Orang tua saya masih berpandangan yang namanya anak rajin adalah anak yang rajin kerja fisik mencangkul di ladang, mencari rumput atau mencari kayu bakar. Maka tidak heran kalau tingkat pendidikan di desa saya sangat terbelakang. Untung waktu itu saya diberi kesempatan orang tua untuk meneruskan sekolah, walaupun untuk membiayai sekolahku orang tua pasti kesulitan. 
Kenakalan kenakalan kecil yang masih saya ingat ketika saya masih di bangku SD: saya termasuk anak yang nakal, suka berantam, suka njahili teman-teman, senang cari gara-gara. Kalau aku naksir  teman perempuan pendekatan yang kulakukan biasanya aku godai dengan cara yang kasar (menurutku sekarang), kalau dia sedang jalan aku mengikuti dari belakang terus kakinya aku jegal supaya dia terpelanting jatuh, trus ada kesempatan untuk menolongnya, atau kalau dia bawa buku, bukunya aku tampel dari belakang supaya bukunya jatuh, dan ada kesempatan aku mengambilnya, pdkt masa kanak-kanak.
Dalam kesederhanaan dan mungkin karena kepepet oleh keadaan saya justru mengalami pendidikan karakter yang riil. Dalam masa usia kanak-kanak saya sudah dilatih bekerja yang tujuan utamanya mencari uang, melatih kemandirian dan tanggung jawab.  Ketika saya minta uang untuk membayar uang sekolah, yang diberikan oleh bapak atau simbok ke saya bukan uang, melainkan perintah. Saya diminta untuk memanjat dan memetik buah  kelapa yang sudah tua atau mencari kayu bakar ke ladang untuk dijual ke pasar. Nah hasil jualan kelapa atau kayu bakar  tersebut baru boleh dipakai untuk membayar uang sekolah, dan sisanya boleh dipakai untuk jajan. Hebat juga ortu saya walaupun tak belajar dedatik metodik. Ketika anaknya minta ikan yang diberikan bukan ikan yang siap untuk disantap tetapi kail dan umpan.  

Bapak saya selain tukang kayu juga seorang pengrajin ayam-ayaman dan tukang ukir, tetapi juga sedikit nglenik/ dukun, saya diajarinya juga bagaimana mengayam tenggok, keranjang, bagaimana cara menatah/ memahat, menggergaji kayu. Namun kalau yang klenik tak pernah diajarkan bapak kepadaku. Kebiasaan ini menjadi kegemaranku/ hobby salah satunya adalah memahat. Dengan modal kerajinan ini saya bisa dapatkan uang untuk kebutuhan sekolah, waktu itu  hasil kerajinan saya sudah laku jual, bahkan banyak bapak-bapak mengatakan kalau hasil ukiran/ pahatku tergolang unik dan berdaya seni yang unik. Jiwa seorang petani juga melekat dalam diriku, sperti bercocok tanam, beternak. Kala itu aku diserahi memelihara ayam dan kambing, orang tua mengatakan itu milikmu maka harus dipelihara.  Tak kalah hebatnya karena dengan uang yang saya dapat dari jerih payahku aku dapat merasakan naik bus ke pasar. Pengalaman pertamaku naik mobil/ bus umum pada saat aku akan masuk SMP Kanisius Balong. 

Ya inilah anak yang sungguh-sungguh dari pedalaman, merasakan naik mobil baru sesudah lulus SD. Waktu itu saya takut sekali waktu masuk ke dalam bus, ketika bus melaju dan saya melihat ke samping, pemandanga jadi menyeramkan karena waktu kecepatan bus tinggi pepohonan di samping jalan rasanya roboh semua, maka aku memejamkan mata, ketika aku buka lagi mataku aku sudah lemas karena muntah-muntah...... oooo ini yang namanya mabuk. 
Tahun 1983 saya lulus SD kemudian masuk SMP Kanisius Balong Gunung Kucir. Sekolah Katolik yang masih cukup bergengsi kala itu, meskipun sekarang sudah tutup. Di sekolah ini awal saya mulai memperhatikan penampilan, mulai punya sepatu, tas, jam tangan. Cara berpakaianpun mulai rapi, baju sudah dimasukkan. Maklum waktu SD saya jarang mandi pagi lho, paling-paling kalau ke sekolah cuma raup/ cuci muka. Cara belajarpun mulai mendapat bimbingan dan pengarahan dari guru. Hasilnya cukup lumayan sejak kelas satu sampai kelas tiga saya selalu rangking satu. Suatu anugerah juga saya mendapat biasiswa per bulannya waktu itu Rp10.000 padahal uang sekolahku Cuma Rp2.500. Itung-itung saya mendapatkan untung dua kali lipat, mendapat pengetahuan dan mendapat uang sisa biasiswa. 
Saya mulai belajar berorganisasi ketika di kelas dua, waktu itu saya terpilih sebagai ketua OSIS dan ketua Pramuka. Mulai kelas dua saya mulai tertarik ikut kegiatan mudika, walaupun hanya sebatas latihan koor. Mengenai kehidupan rohani, di keluarganku kurang mendapat perhatian. Doa bersama keluarga jarang terjadi. Ekaristi ke gereja  tidak mesti seminggu sekali. Di penghujung kelas tiga, saya memikirkan untuk jenjang pendidikan berikut, waktu itu saya bingung, banyak guruku yang menyarankan supaya saya masuk ke seminari. Aku sendiri tidak tau seminari itu di mana, yang saya tahu sebatas itu sekolah calon pastur. Bahkan ada guruku yang bersedia mengantarkan aku mendaftarkan di Magelang. Aku sendiri belum bisa menentukan pilihanku sendiri. Benih panggilan aku ingat mulai tumbah saat itu. Apalagi ketika saya mengikuti doa lingkungan, ada yang memanjatkan doa harapan supaya dari desa Promasan yang warganya sedikit ini ada yang terpanggil menjadi romo, bruder atau suster. Pengalaman iman akan panggilan khusus saya rasakan tumbuh mulai saat itu. Namun bagaimana saya harus menanggapi panggilan itu semuanya masih kabur.
Tuhan sendiri menuntun saya pergi ke kota misi yaitu Muntilan. Motivasi pertama saya adalah mencari sekolah swasta yang terbaik, dan murah biayanya, dan mempunyai nama yang menyejarah dalam perkembangan Gereja di Jawa Tengah. Kebetulan kakak dari Pak De Pawiro putra pertamanya bersekolah pendidikan guru di Muntilan yaitu SPG Van Lith. Bermodalkan kemauan akhirnya saya mendaftarkan dan mengikuti tes seleksi di SPG Van Lith, hasilnya saya diterima. Dengan bangga saya meninggalkan desaku seorang diri, setelah saya dinyatakan diterima di SPG Van Lith Muntilan. Waktu saya tinggal di asrama SPG Van Lith, sontak menjadi terkenal di desa, ada yang mengatakan "Wah anake kang Somo sekolah neng satelit" maksudnya adalah Van Lith, karena tidak paham betul maka Van Lith diucapkan menjadi satelit. 

Muntilan sebuah kota kecil yang merupakan pusat misi. Di kota ini, kali pertama aku meninggalkan keluarga dan desaku yang kucinta pujaan hatiku. Masa penyesuaian memasuki dan tinggal di asrama pada awalnya merupakan pengalaman yang tidak mudah, rasa kangen dengan keluarga sangat terasa sekali. Ritme acara harian dari pagi sampai malam semua diatur dengan bel...Namun yang jelas pola kehidupan di asrama membentukku menjadi seorang calon pendidik, membiasakan hidup tertib dan disiplin diri. Waktu itu suasana asrama memang tertib, disiplin, dan banyak kegiatan yang membuatku kerasan tinggal bersama kaum laki-laki semua itu. Saya senang tinggal di asrama karena salah satunya saya bisa belajar main karawitan. Musik fovoritku sampai sekarang.  Lagi-lagi benih panggilan tersentuh kembali ketika saya melihat, merasakan dan mengalami gaya hidup para Bruder yang mengasuhku di asrama. 
Rasa ketertarikkan bermula dari sesuatu yang sangat sederhana sekali, yaitu karena jubah dan sebuah jeruk. Kali pertama saya masuk sekolah yang berasrama itu disambut dengan upacara,  pembina upacara salah seorang guru berpakaian rok putih, yang ternyata dia adalah bruder yang memakai pakaian kebesaran jubahnya. Nampaknya pakaian itu membawa wibawa tersendiri, dalam benak saya berbisik dapatkan saya berpakaian seperti itu juga kelak. Hal ini saya rasakan sebagai benih panggilan yang memikat dan tumbuh dalam diriku untuk menentukan pilihan hidup. Kehudupan di asrampun aku jalani dengan cukup lancar, memang pada awal-awal bulan aku merasa sangat kangen sama orang tua dan saudara-saudara saya. Waktu terus berproses dari waktu ke waktu  sampai ada pengalaman ke dua tonggak panggilanku di kelas dua.
Pada suatu malam ketika saya sedang tugas RPK (Resimen Pengawal Kristus)/ jaga malam, bruder pamong mendatangi saya, dan mengajak saya ke bruderan, sampai di pintu bruderan saya tidak boleh masuk, disuruh tunggu di luar lalu bruder itu masuk, tak lama kemudia bruder itu keluar dengan membawa sebuah jeruk. Jeruk itu diberikan kepadaku dengan pesan, jangan bilang dengan teman-teman yang lain. Gumanku dalam hati, Bruder ini kok baikan. Pengalaman sederhana ini pertama membuat rasa tertarik, berlanjut tumbuh keinginan untuk mengenal lebih jauh pribadi Bruder itu, apa dan siapakah bruder itu. Dengan berbagai cara saya berupaya untuk mengenal FIC, mulai dari meminjam buku-buku dari bruder, meminjam majalah orientasi majalah FIC waktu itu. Apalagi akses untuk mengenal lebih leluasa karena waktu itu saya terpilih juga sebagai ketua OSIS dan koordinator kesenian. 
Waktu itu yang namanya pengurus OSIS cukup disegani, dan mendapatkan pendampingan khusus dari pembina OSIS maupun Bruder Kepala Sekolah. Seminggu sekali kami dikumpulkan diberi pembekalan. Saya banyak belajar berorgasisasi waktu saya ikut dalam kepengurusan OSIS. Pokoknya menyenangkan....... Apalagi ketika aku mulai terpesona oleh FIC. Tak heran setiap diadakan rekolaksi panggilan di Van Lith saya selalu mengikutinya, apalagi rekoleksi panggilan yang hanya khusus FIC.  Keinginan untuk mengenal Kongregasi FIC tidak pudar sampai akhirnya saya berada di kelas 3.  Melalui proses yang panjang, akhirnya setelah saya lulus dari SPG Van Lith langsung mendaftarkan diri ikut tes seleksi Bruder FIC. Saya ingin mencoba masuk pendidikan calon Bruder FIC, yang tentunya harus meninggalkan tawaran pasti untuk menjadi guru sebuah SD di Jakarta. Saya mengungkapkan keinginanku itu kepada orang tua Bapak dan Simbok. Bapakku mengatakan kalau itu pilihanmu, jalani tetapi jangan tanggung-tanggung, jalani dengan sungguh-sungguh Nek pilihanmu pingin dadi Bruder neng sing tememen imbuh pesan Bapak Ngadi panggilan bapak saat masih muda. Lain dengan simbokku, beliau mengatakan, “Kowe tak sekolahke supaya dadi guru ben bisa mbantu adik-adikmu, ora dadi bruder. Nampak Mbah Iyem panggilan para putu untuk simbok saya, dia menginginkan supaya saya bekerja sebagai seorang guru. Simbok nampaknya kawatir kalau anaknya masuk biara seperti anak yang hilang. Pendek kata simbok tidak mengijinkan aku masuk ke pendidikan calon bruder FIC. Tetapi aku dikuatkan oleh restu dari Bapak, maka saya memutuskan untuk ikut screening test masuk FIC. Waktu tes pesertanya cukup banyak ada 85 peserta. Dari hasil tes saya dinyatakan boleh mencoba. Sekarang aku baru tahu, ternyata  boleh mencoba itu tidak diterima murni.
Pada tanggal 17 Juli 1989 saya secara resmi masuk Postulat FIC di Muntilan sebagai Postulan. Sebelum masuk postulan kami ber 19 yang dinyatakan diterima sebagai calon bruder dikarantina, mengikuti masa orientasi, masuk kawah condrodimuka dalam acara Capos selama satu bulan di SMA PL Don Bosco Semarang. Suatu latihan tingkat dasar yang memerlukan ketahanan fisik dan mental. Bersama 19 Frater yang terseleksi seangkatan, kami menjalani masa postulat selama satu tahun yang didampingi Br. Petrus Wayan FIC sebagai magister yang baru pertama kalinya. 
Pada tanggal 5 Juli 1990 bersama dengan 17 frater diterima ke pendidikan lanjutan yaitu Novisiat tahun kanonik. Proses formasio di novisiat ini selama 1 tahun tidak boleh mengunjungi dan dikunjungi oleh keluarga. Tahun rohani kilas kegiatan mulai bangun pagi kemas diri, pkl 05.00 ibadat pagi dilanjutkan ekaristi sampai dengan pkl. 06.00 dan meditasi selama 1 jam, baru pada pkl. 07.00 sarapan pagi. Pkl. 08.00  10.00 kuliah, pkl 11-12.00 opera/kerja, pkl. 12.00 ibadat siang, pkl. 13.00 makan siang, dan istirahat sampai pkl. 15.00 bangun trus opera/kerja. Pkl. 16.30 kuliah, pkl. 18.00 Ibadat Sore. Pkl. 19.00 makan malam, dilanjutkan bersih-bersih dan studi pribadi, pkl. 21.00 rekreasi bersama, pkl. 21.30 Ibadat penutup kompletorium/ kunjungan sakramen maha Kudus dan istirahat. Itulah acara harian di Novisiat Kanonik setiap hari. Tahun kanonik, tahun rohani, namun saat itu kami merasakan, banyak kegiatan yang justru diwarnai dengan kegiatan duniawi seperti bertani, bernak ayam, burung menjangan, kambing, dll. Itulah bagian yang menjadi sarana kami terus berefleksi untuk memurnikan panggilan masing-masing.  Bisa dimengerti karena magister waktu itu penggemar tanaman dan hewan piaraan, itulah Br. Marcelinus Senen. 
Pada tanggal 3 Juli 1991 kami ber 13 frater pindah ke Kota Surakarta, bruderan FIC Jln. Sugiopranoto tempat pendidikan Novisiat lanjutan. Inilah masa untuk belajar memadukan dunia karya dengan nilai-nilai hidup bakti sebagai bruder. Di Novisiat tahun kedua ini kami jalani satu tahun juga, hingga kami boleh mengucapkaan prasetia sementara tgl 2 Juli 1992 bersama dengan 13 Frater. 

Masa pendidikaan calon yang saya jalani, saya rasakan unik, penuh tantangan dan perjuangan. Tidak seperti yang saya bayangkan semula bahwa hidup sebagi calon biarawaan itu damai, rukun, penuh pengertian, saling mendukung, menyenangkan dsb. Banyak ketegangan yang saya alami. Faktor penyebabnya bermacam-macam, entah itu latar belakang keluarga, budaya, umur, pengalaman hidup, pola pikir, ambisi, kepekaan dan masih banyak lagi. Maka salah paham, bentrok, adu mulut, mendiamkan sesama frater sering terjadi. Inilah dinamika kehidupan, seni kehidupan, seperti roda yang terus berputar. Hidup dalam suatu kelompok/ komunitas yang sangat majemuk diperlukan seni untuk mengolahnya, untuk menyikapinya. Perlu suatu ketekunan, keuletan, kesabaran, mengakui kesalahan, tetapi juga berani kalau memang benar, dan tentu kesetiaan yang dilapisi dengan ketabahan. Nilai inilah yang dapat mengantar saya hingga saya boleh mengucapkan prasetia pertama, untuk memulai hidup baru sebagai bruder.
Tugas pertamaku sebagai bruder muda di Komunitas Boro bersama denga Br. Winuryana. Inilah kisah orang desa kembali ke desa, tidak asing lagi pola hidup orang desa, tidak memerlukan waktu lama untuk penyesuaian. Di Komunitas Boro saya belajar bagaimana menyambung, mengelos, mewarnai, menucuk, mengatur, sampai dengan menenun benang, serta menjahitnya hingga menjadi kain yang siap jual. Tiap hari dari pkl. 07.00 s.d 14.00 selalu mendengarkan bunyi gaduh yang muncul dari alat tenun yang bukan mesin itu (ATBM). Kotoran benang (kawul) pasti bertaburan menghiasi badan, apalagi kalau hinggap di rambut akan terasa sangat kumal. Apalagi waktu itu rambutku gondrong sampai sepundak, ya kalau kenak kotoran dari benang menjadi semakin kumal.  Itulah dunia pertenunan yang saban hari aku tekuni, selain mendampingi anak-anak panti asuhan dalam belajar musik pada sore hari. Menjalani hal yang sama, tiap hari bergelut dengan benang dan itu-itu saja, lama-lama terasa bosan dan menyebalkan. Tapi itulah konsekuensi komitmenku yang aku ucapkan ketika saya berprasetia, untuk hidup taat, dan miskin antaranya. Dalam refleksiku ada hipotesa dengan belajar menenun secara fisik, saya juga sekaligus belajar menenun hidup, menyambung benang-benang kusut kebosanan, dan merangkainya menjadi baju kehidupan kesetiaan. Akhirnya tak terasa dua tahun sudah tugas ini aku jalani.
Di penghujung tahun kedua saya ditawari untuk studi manajemen oleh Br. Redemptus, Provinsial waktu itu. Saya siap menjalani tugas baru ini, maka tgl 5 Juli 1994 saya pindah ke Komunitas Senopati Yogyakarta. Komunitas yang dihuni bruder-bruder muda yang mayoritas menjalani tugas studi. Di Komunitas ini saya hidup bersama kembali dengan dua teman seangkatan yaitu Br. Paulus Mujiran yang studi di Akper Panti Rapih dan Br. Marjito tugas studi Bhs. Inggris di USD. Tgl. 2 September 1994 saya diterima di AMP YKPN.  Naik status saya dari kuli tenun menjadi seorang mahasiswa di AMP YKPN Yogyakarta. Kali pertama dan hari pertama memasuki dunia kampus sangat canggung dan asing (ingah-ingih bahasa Boronya) merasa tidak punya teman, walaupun ada 600 mahasiswa baru seangkatan. Saya merasa sangat miskin pengetahuan, walaupun lebih senior dalam hal umur, tetapi saya yakin dengan kemampuan dasar, yaitu saya bisa membaca, menulis, mendengarkan, memperhatikan, dan dapat bertanya. Berbekal niat saya menyakinkan diri dapat mengikuti perkuliahan dengan baik. Dalam keadaan suasana hati yang merasa miskin dan rendah, saya dikejutkan oleh kenyataan yang diluar bayangan saya. Waktu itu sebelum masa perkuliahan diadakan penataran P4 selama 7 hari. Hari yang ketujuh ditutup oleh direktur AMP YKPN dan dalam acara tersebut diumumkan peserta penataran terbaik dari peringkat 1 sampai dengan 10. Aku sangat terkejut karena namaku disebut dalam urutan pertama perserta terbaik. Lagi-lagi waktu pemilihan king aku terpilih jadi raja,..... memang mukjizat itu nyata. Namun saya tetap menyadari bahwa kemampuan intektualitas tidak brilian, hanya ketekunanlah menjadi senjata andalan saya. Setiap ada tugas sedapat mungki saya selesaikan, dengan prinsip penundaan adalah awal dari kegagalan. Menekuni tugas kerasulan di kampus sangat memakan energi. Waktu itu saya lajo dari Bruderan Senopati dengan naik sepeda ontel tiap hari melaju ke Monjali AMP YKPN, satu-satunya mahasiswa yang ngontel waktu itu. Semester-semester awal menjadi perjuangan yang sangat berat bagiku, karena aku dari SPG tidak mendapatkan basic yang kuat mengenai pelajaran matematika dan akuntansi. Saya baru bisa mendapatkan IP 3 ke atas setelah semester 3. ya hanya ketekunanlah yang bisa menjadi senjata andalan saya. Dengan ketekunan itu pulalah saya dapat menyelesaikan Diploma/ Ahli Madya Manajemen Perusahaan dalam 2,5 tahun bersama 30 teman seangkatan saya, ya tentu dengan indek prestasi yang tidak terlalu jelek. Usai dari AMP saya  diminta untuk melanjutkan ke STIE (Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi). 
Mulai tanggal 26 Januari 1997 saya tercatat sebagai mahasiswa STIE YKPN. Selain belajar ilmu ekonomi di sekolah tinggi ini, saya juga banyak mengalami hal-hal baru berkaitan dengan penggunaan sarana yang modern, seperti bagaimana mengases referensi dari internet, bagaimana presentasi dengan menggunakan LCD/ proyektor, yang waktu itu masih menjadi barang yang super mahal. Suasana kampus memang dirancang sangat indah seperti layaknya mall, dengan kelas ber AC, disamping mahasiswanya mayoritas orang-orang china. Ini suatu sekolah yang mahal dibanding perguruan tinggi lainnya di Yogyakarta waktu itu, beban mental bagiku kalau tidak cepat menyelesaikan tugas  studiku. Dengan semangat dan kemauan saya targetkan maksimal dua tahun saya pegang ijasah S1 ekonomi.  Berkat Tuhan akhirnya Juli 1998 saya selesaikan tugas studiku dalam waktu 1,5 tahun,  dengan indek prestasi yang tidak terlalu jelek. 
Saat-saat mutasi atau perpindahan para bruder sekitar Juni/ Juli 1998, saya terkejut karena saya tidak dipindah, sementara tugas studiku selesai. Selama 6 bulan, saya tidak mempunyai tugas yang jelas/ menganggur. Waktu kosong ini saya manfaatkan dengan mengembangkan hobi memahat dan merawat taman di rumah, sambil menanti mau dipindah kemana saya. Akhir Novembber 1998 Br. Guido provincial waktu itu menemui saya dan meminta supaya saya pindah ke Komunitas Haji Nawi Jakarta. Diluar dugaan mutasi ini, saya menduga akan dikembalikan ke Komunitas Boro dengan tugas di Pertenunan Boro. Saya diminta belajar administrasi sekolah sambil ikut mempersiapkan pembukaan sekolah SMU baru di Kampung Sawah Bekasi. Sebenarnya saya tidak siap mental dengan tugas ini, tetapi terjadilah padaku menurut perkataanmu, maka pda tanggal 1 Desember 1998 saya meninggalkan Komunitas Senopati pindah ke Jakarta. Selama 9 hari tinggal di Komunitas Haji Nawa Jakarta, langsung jatuh sakit, ini kali pertama saya dirawat di rumah sakit, karena ada gejala DB. Tujuh hari lamanya saya berbaring di RS. Carolus. Memulai belajar administrasi di YPL-C Jakarta saya diberi pesan oleh Br. Cajetanus Kepala Kantor waktu itu, Kamu disini untuk bekerja bukan untuk berteori.  Saya tahu maksud pesan itu, maka saya menjadi orang penurut dan taat. Belum genap 7 bulan di Komunitas Haji Nawi saya dimutasi cepat ke Kampung Sawah.
Kampung Sawah salah satu perkampungan yang berbau kota, terletak disebelah timur Ibu Kota Jakarta, termasuk Bekasi. Jarak tempuh dari Bruderan Haji Nawi kurang lebih 25 km. Tugas saya menyiapkan segala sesuatu untuk memulai karya baru mendirikan sekolah dan mencari tempat tinggal. Bisa dibayangkan mendapat tugas di tempat kerasulan baru namun belum ada komunitas sebagai tempat tinggal, belum ada sekolah untuk karya kerasulan. Penuh tanda tanya besar bagiku waktu itu. Tugas ini suatu kepercayaan atau suatu ujian? Mulai tanggal 4 April 1998 saya  saban hari meluncur ke Kampung Sawah seorang diri dengan sepeda motor Yamaha thn 75. Tugasku menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk terselenggaranya sekolah, mulai dari perijinan s.d pengadaan  sarana prasarana kebutuhan sekolah. Waktu itu saya diperbolehkan menumpang di SLTP Strada Kampung Sawah oleh Rm. Markus Wanandi Direktur Strada. Tetapi kami harus masuk sekolah pada sore hari, karena pagi untuk kegiatan belajar SLTP. Kami boleh memakai 3 ruang kelas, ruang guru, ruang Kepala Sekolah mempergunakan gudang yang letaknya antara WC putra dan putri. Dengan segala keterbatasan dan ketidaktahuan saya siapkan yang diminta oleh Ketua YPL-C Jakarta Br. Romi waktu itu.
Dalam suasana sibuk dan was-was persiapkan sekolah, harus juga memikirkan mencari tempat tinggal untuk para Bruder yang nanti akan ikut berkarya di Kampung Sawah. Beberapa kali saya mencari rumah yang cocok untuk bruderan sementara, pertama kali saya tanya-tanya di Susteran RGS  dimana ada tempat yang bisa kami tempati, oleh bantuan penduduk desa saya diantar ke tempat kos-kosan, disana ditawarkan satu ruangan ukuran 3 x 4 meter yang terbuat dari batako, wah ini tidak cocok. Saya minta tolong lagi sampai lima tempat yang saya hubungi dan saya kunjungi tetapi semuanya tidak ada yang cocok. Saya mencoba menguhungi satpam komplek Perumahan Bulog, dari sana saya dapatkan informasi bahwa ada rumah yang agak besar yang tidak dihuni. Yang mempunyai rumah itu seorang angkatan udara Halim, kebetulan dia juga orang katolik sehingga dalam nego harga kontrak tidak dipersulit. Akhirnya rumah kosong tanpa perabotan itu dapat kami kontrak.  
Sepulang dari sekolah saya harus mampir rumah kosong itu untuk bersih-bersih, dan mencari macam-macam perabot rumah tangga, untung saya punya kakak yang ada di Jakarta dia banyak membantu saya mencarikan perabot rumah tangga, meja, kursi, almari, kasur, bantal dsb. Ditengah kesibukan  saya juga harus mempersiapkan diri untuk kursus kaul kekal.  Di angkatan bruder 92 saya termasuk prasetiya kekal ditunda. Pada tanggal 10 Januari s.d 28 Februari 1999 saya mengikuti kursus Kaul Kekal di Roncalli Salatiga. Sepulang dari kurus saya lanjutkan persiapan karya Kampung Sawah, sambil membuat refleksi untuk memutuskan terus atau tidak menjadi FIC.
Setelah rumah itu siap dihuni, saya dan Br. Aloysius suwargi tgl 16 Juni 1999 pindahan dari Komunitas Haji Nawi. Minggu pertama kami menempati rumah itu, situasi rumah dan aura rumah tidak  enak banyak kejadian-kejadian aneh, konon rumah itu bekas kuburan dan aliran airnya cukup deras. Orang-orang sekitar sana mengatakan bahwa rumah itu angker ada penghuninya/ banyak hantunya. Lingkungan pun kurang bersahabat banyak terjadi pencurian sepeda motor, perabotan rumah tangga dll. Keadaan demikian nampaknya mengingatkan/ memunculkan trauma Br. Aloysius suwargi ketika peristiwa perampokan yang pernah beliau alami di Sumatra. Ditambah lagi bagaimana kami harus makan, saya sendiri tidak dapat memasak dengan selera yang enak. Setiap hari kami hanya menanak nasi, sayurnya beli, kadang jajan, kalau sarapan  pagi buat supermi. 
Pengalaman yang tak pernah akan terlupakan, kejadian yang baru kali pertama saya alami, pada waktu itu saya di rumah seorang diri, karena yang lain pada tugas luar kota.  Biasanya pada hari Rabu malam saya nonton acara tinju yang ditayangkan TV indosiar. Kira-kira pada pukul 12 malam saya menyaksikan tinju tersebut dengan posisi badan tidur di sofa. Dalam keadaan setengah sadar antara nonton dan ngantuk, saya didatangi oleh bayangan orang berpakaian putih rambutnya terurai, dia duduk di samping kepalaku dengan menyebut bos....bos.....bos...... Saya benar-benar tidak dapat berucap apa-apa orang jawa mengatakan kamitenggengen, badan  rasanya kaku tidak dapat digerakkan, apalagi bersuara mulut tidak bisa dibuka, rasa takut yang luar biasa. Sampai pagi saya tidak dapat tidur karena rasa takut. Pagi harinya saya telpon ke komunitas para Bruder di Haji Nawi menceritakan kejadian semalam dan meminta supaya ada bruder yang menemani saya di rumah Komplek Bulog. Namun nampakknya para bruder tidak percaya dengan cerita saya tersebut, sampai saya mengatakan kalau tidak ada yang menemani saya sampai dengan waktu para bruder pulang, saya mau keluar. Akhirnya siang harinya ada satu Bruder yang dikirim ke Kampung Sawah menemani saya. 

Pada tanggal 19 Juli 1999 kami resmi memulai sekolah baru, dengan 113 siswa, 2 guru tetap 3 guru orientasi dari YPL, 5 guru pinjam dari SLTP Strada Kampung Sawah dan Strada Nawar, dan 1 tenaga tatausaha. Waktu itu status saya langsung sebagai guru tetap yayasan tidak melewati masa orientasi dan capeg, karena situasi yang mengharuskan mendirikan sekolah baru syaratnya harus ada guru tetap. Sebagai Bruder muda yang baru saja kaul kekal tgl 4Juli 1999 saya merasa optimis dengan karya baru ini, jiwa muda masih membara, usia ku waktu itu sudah 29 tahun. Hal yang tidak diinginkan terjadi, baru saja sekolah berjalan 3,5 bulan Br. Aloysius sebagai Kepala Sekolah jatuh sakit dan harus opname di RS. Carolus. Penyakitnya tidak kunjung sembuh, malah kondisinya semakin memburuk lalu beliau dipindahkan ke RS. Elisabeth Semarang, hingga akhirnya beliau berpulang ke pangkuan bapa.
Dengan ditinggalkan Br. Aloysius membuat panik juga, karena saya harus meneruskan tugas-tugas beliau. Waktu itu saya mengajar bidang studi ekonomi akuntansi, agama, olah raga, dan musik, merangkap Wakasek Kurikulum dan Kesiswaan, lalu harus menjabat sebagai Kepala Sekolah. Bisa dibayangkan mendirikan dan mengelola sekolah dengan modal  bukan pengalaman dan pengetahuan tetapi hanya kemauan dan keoptimisan. Beban berat yang saya rasakan waktu itu, meskipun demikian saya tidak pernah mengutarakan kepada sesama bruder saya di Haji Nawi. Saya tidak mau terjadi ejekan dari sesama bruder yang sering suka ngledeki/ nggarapi. Biasa kalau aku pulang ke Komunitas Haji Nawi selalu dikatakan wah ini orang dari sawah datang, yah nama kampong sawah memang kurang menguntungkan.  Biasanya saya mencurahkan isi hati unek-unek dan beban-beban yang harus saya pikul dengan Br. Valerianus teman satu atap di Bulog yang datang belakangan. Kami berdua bagi-bagi tugas Br. Vale urusan pembangunan sekolah dan saya urusan kegiatan sekolah, walaupun dalam praktiknya tidak dapat dipisahkan. Biasanya pagi hari saya ikut ke proyek pembangunan gedung sekolah dan pkl. 13.00 s.d 18.00 ke sekolah. Waktu terus berjalan dengan berbagai tantangan dan perjuangan, tak terasa sampai di penghujung tahun ajaran 1998-1999. Kami mulai boyongan ke gedung sekolah yang sudah mulai rampung dibangun. Rasa senang mau menempati gedung baru yang cukup megah yang dibangun masih subsidi dari para Bruder Belanda.
Sekitar pertengahan Juni 2000 Br. Guido Provinsial waktu itu memanggil saya untuk bertemu di Komunitas Haji Nawi.  Beliau meminta untuk menceritakan pengalaman hidup di Kampung Sawah, dan bagaimana rencana kedepannya. Selesai saya sharing pengalaman dan program sekolah yang sudah saya buat, beliau mengatakan, Terima kasih atas perjuangan Giwal, dan pemikiran untuk kemajuan sekolah kedepan, tetapi DP meminta Giwal untuk pindah ke YPL-C Jakarta menggantikan Br. Cajetanus.  Spontan hati berguman, baru saja akan menempati gedung baru, sudah dipindah lagi, tetapi saya mengatakan: Siap bruder. saya siap ditugaskan kemana DP mau. Dilihat dari lingkungan fisik dan perjuangan fisik di YPL nampaknya lebih enak, duduk di kantor, satu komplek dengan komunitas lagi. Meskipun demikian kalau dilihat dari beban tanggungjawab cakupannya lebih besar. 
Setelah saya mendapat SK tugas dari Yayasan Pusat Semarang saya sangat terkejut, dalam SK sangat jelas tertulis per 1 Juli 2000 diangkat menjadi Pengurus YPL-C Jakarta dengan tugas sebagai: Sekretaris eksekutif, Bendahara, dan Kepala Kantor. Apakah saya mampu untuk tugas ini, gumanku dalam hati. Karena prasetia ketaatanku oke saya mau mencobanya. Mungkin ini kesempatan saya untuk belajar mengembangkan diri berorganisasi, rasa tanggungjawab, melatih kedewasaan, mengingat saya masih sangat hijau baik dari usia maupun pengalaman. Saya ingat akan pesan Kitab Suci mengatakan Jangan katakan aku masih muda.. Saya melangkah dengan motto Saya dipanggil bukan untuk sukses, tetapi untuk setia pada panggilannku. Saya mencoba untuk setia pada tugas-tugas yang dipercayakan kepadaku, walaupun berat dalam menjalaninya. Memang tidak mudah tantangan hidup di daerah metropolitan, tuntutan dari orang tua yang cukup tinggi dan bervariasi.  
Satu contoh peristiwa 11 Agustus 2001 sampai sekarang tidak dapat kulupakan, bertepatan ulang tahun saya yang ke31,  hadiah yang saya dapat adalah suatu dampratan dan caci maki dari POMG SLTP, jalaran saya tidak dapat hadir dalam serah terima Tim financial PMB SLTP. Ceritanya cukup panjang tetapi, ringkasnya demikian: Tgl. 9 Agustus 2001 saya mendapat surat undangan dari Bpk. Sulistyo Kepala Sekolah SLTP untuk menghadiri serah terima keuangan dari Tim Finansial kepada sekolah. Bertepatan dengan acara itu saya sudah ada acara rapat pembangunan di Kampung Sawah. Saya mau membatalkan acara yang di Kampung Sawah tidak mungkin karena harus mewakili Br. Honoratus Sebagai Pinpro yang tidak hadir kerena masih di Belanda, sekaligus laporan keuangan yang belum beres. Maka saya putuskan, saya mewakilkan Karyawan YPL untuk menghadiri acara di SLTP tersebut, dan saya juga menghubungi Bpk. Sulistyo bahwa saya tidak dapat hadir dalam acara serah terima tersebut. Tiba hari H acara serah terima, yang rencananya akan dimulai pkl. 09.00 sampai pkl. 11.00 belum juga dimulai lantaran Bpk. Sulistyo sebagai pengundang/ Kep. Sek. Juga tidak hadir, dengan alasan ada tamu seorang bruder. Sudah barang tentu orang tua POMG dan Tim Finansial SLTP merasa dilecehkan, mereka marah besar kepada sekolah dan juga kepada Yayasan. Semua kesalahan itu akhirnya menimpa Yayasan, dengan kata lain saya harus menerima getah pahit itu. Dengan rasa kesal saya datang kepada ketua POMG dan Ketua Tim Finansial untuk minta maaf atas kekilafan sekolah dan yayasan, serta mengundang mereka untuk berekonsiliasi. Usaha menetralkan suasana panas ini, kami mengundang mereka (POMG, Tim Finansial, Staf sekolah) dan Kepala Kantor YPL Pusat.  Pertemuan terjadi tgl. 20 Agustus di Kantor YPL-C Jakarta, suasana sangat tegang kemarahan POMG masih muncul ditambah dengan harapan/ tuntutan orang tua kepada yayasan karena sekolah telah menjanjikan beberapa hal tetapi belum juga terwujud, khususnya pembangunan gedung sekolah. Peristiwa ini menjadi kasak-kusuk dikalangan guru dan karyawan bahkan orang luar. Perasaan saya seolah semua orang mencibirkan saya, seolah penyebab semua ketegangan ini saya, tetapi itu hanya perasaan saja. Pikiran sehat masih jalan, toh permasalahan dapat dipecahkan. Pertemuan demi pertemuan sedikit demi sedikit dapat meminimalisir ketegangan ini. Kurangnya pemahaman, pengertian, dan pengampunan, ingin saling menyalahkan dan apriori dari berbagai pihak nampaknya penyebab ketegangan semuanya itu. 
Itulah sedikit ilustrasi tugas dan perjuangan hidup saya. Mulai tahun ajaran 2001-2002 saya baru mulai bisa duduk tenang menghadapi permasalah yang muncul, mungkin kerena faktor kekebalan menerima macam-macam kritikan dan desakan. Kadang saya juga mengalami rasa bosan tiap hari yang dihadapi angka-angka dalam buku dan computer, dengan seorang karyawan saja . Yah untung saya juga  punya tugas sampingan yang memungkinkan saya dapat keluar dari kantor menghirup udara luar, misalnya kunjungan sekolah, urusan perbankan, urusan ke KWI, MPK,dan kadang ke Kedutaan untuk urusan para bruder yang akan keluar negeri, dan pergi ke Jawa Tengah, rapat komisi penasehat keuangan Dewan Provinsi FIC Indonesia.
Selama tugas di Kantor YPL C Jakarta, banyak pengalaman menarik. Urusan pajak..... Urusan Tenaga kerja ke Depnaker......Urusan Penertipan pedagang kaki lima yang liar......urusan pembangunan kampugn sawah, SMP Haji Nawi, Deltamas,....... Urusan perijinan sekolah........ Urusan pengurusan sertifikat tanah........ pokoknya menarik dan memperkaya pengalaman. Hal yang tak kalah menarik ketika pertama kali saya diikutkan kursus ke Belanda tahun 2003, waktu itu saya pamit ke simbok dan Bapak, apa kata simbok: mengko nek neng londo lek arep mangan opo? Neng kono lak ora ono sego tho? Yah itu suka duka sebagai bruder FIC.

Menyadari panggilan saya sebagai seorang biarawan bruder, yang berkomitment untuk hidup miskin, taat, dan wadat di tengah kota metropolitan, saya dihadapkan pada kenyataan hidup yang tidak gampang, menjadi pergulatan dan perjuangan yang tidak mudah. Antara jatuh dan bangkit rasanya malah banyak jatuhnya, berjalan sepuluh kilo, baru akan berjalan udah jatuh, baru berjalan dua kilo udah terseok-seok, bangkit berjalan satu kilo lima kilo waktu malah untuk jatuh.  Kota Jakarta yang dikatakan saing malam tidak beda, apa-apa serba ada, bisnis-bisnis mulya sampai yang tercela merajalela, orang kaya sampai dengan yang miskin papa, bahkan banyak yang menjadi pengembara di jalan-jalan raya tak sedikit pula, itu memang fakta. Dunia konsumerisme, hedonisme dengan berbagai tawaran yang menggiurkan, kemajuan teknologi informasi yang semakin mudah didapatkan, membuat orang berfikir, bersikap, berbuat, dan bermental instant, yang praktis, dan yang praktise. Kata dari salah satu syair lagu  aku masih manusia, aku masih tertarik dengan barang-barang duniawi, aku masih bisa termakan oleh iming-iming iklan, aku masih punya dorongan, kerinduan. Inilah atmosfir yang dapat membuat pengab dalam menghayati hidup bakti di tengah kota metropolitan. 
Usaha saya untuk memelihara hidup rohani di tengah masyarakat yang lebih    mengedepankan hidup duniawi ini, mensyukuri bahwa saya masih menjadi manusia yang hidup di dunia fana, yang mempunyai tujuan hidup, yang mempunyai komitmen, dan terus-menerus memohon kekuatan dari Tuhan.sekaligus   motto yang saya yakini Kalau saya meninggal, roh saya tidak akan membawa barang duniawi, barang duniawi justru akan memberatkan perjalananku menuju tanah terjanji.  Saya berusaha untuk mensetiai dan menghidupi komitmen saya waktu prasetia kekal, konkretnya memelihara hidup doa, refleksi, dan kegiatan di paroki. Hidup doa komunitas di Haji Nawi saya akui bagus selalu disiplin waktu, dalam doa bersama hampir pasti semua hadir. Bentuk doa juga sangat bervariasi disamping doa-doa pokok, pendalaman kitab suci, pendalaman konstitusi, sharing karya, pendalaman surat-surat penting dari DU atau DP yang perlu ditindaklanjuti, bahkan sebulan 3 kali ada doa dalam bahasa inggris. Kegiatan di paroki selain menjadi prodiakon, organis, saya juga sempatkan ikut mengajar calon baptis dewasa. Sebagai selingan kegiatan, saya memelihara ikan dan bertaman, merawat macam-macam tanaman,  biasanya saya lakukan pada sore hari. Ternyata merawat taman dan melihat indah dan suburnya tanaman dapat menjadi obat stress, dapat mengagumi misteri dan  keagungan Tuhan. 
Ritme kehidupan di komunitas dan karya kerasulan di sekolah terus berjalan secara berfluktuasi. Hingga pada Juli 2006 saya mendapat rugas baru sebagai Kepala Sekolah di SMA Pangudi Luhur Brawijaya Jakarta Selatan hingga tahun 2012. Sekolah yang beserta didiknya cowok semua. Dalam sekolah ini ada tradisi bebas bersyarat, misalnya boleh berambut gondrong asal nilai akademisnya rata-rata 8 dan tidak ada nilai di bawah KKM. Sekolah ini mempunyai kegiatan tahunan yang kadang bikin heboh Kota Jakarta khususnya di Jakarta Selatan, mereka punya kegiatan konvoi saat merayakan hari kemerdekaan RI, ada acara pembebasan kelas XI, ada acara PL Fair yang kegiatannya bisa mengalirkan dana sampai milyaran rupiah.
Enam tahun ditugaskan sebagai kepala sekolah di SMA PL Brawijaya mengukir kenangan yang membanggakan disatu sisi, namun sisi lain mencemaskan, mengkawatirkan, menegangkan dan menghebohkan. Selain tugas di sekolah pada tahun 2015 sd 2017 juga mendapat tugas studi di Paska Sajana Universitas Atmajaya Jakarta. Tentu kalau diceritakan akan menjadi panjang sekali. Singkatnya, saya pernah berurusan/ bersinggungan namun juga kerjasama dengan kepolisian, dengan komisi perlindungan anak, dengan para petinggi negara, itu semua saya dapatkan ketika tugas di SMA PL Brawijaya. Peristiwa yang menghebohkan yang tersebar dimedia sosial, beberapa kali masuk di harian Kompas adalah kasus bullying. Sekolah mengeluarkan 6 anak yang melakukan bullying terhadap adik kelas dan orang tua tidak terima anak mereka dikeluarkan. Kejadian ini berbuntuk ke meja hijau di pengadilan negeri Jakarta Selatan. 20 kali mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang akhirnya dinyatakan menang. Kenangan yang super hero mengantarkan saya sampai pada tahun 2012.
Per 1 Juli 2012 saya diberi tugas pindah ke SMA PL Don Bosko Semarang. Tugas harian sebagai Kepala Sekolah, selain sebagai Anggota DP FIC provinsi Indonesia, Anggota Pengurus Yayasan Pangudi Luhur, Sekretaris Pengurus Yayasan Univesitas Soegiyapranata Semarang dan Ketua Dewan Inti Dana Pensiun Yadapen. Tugas di Semarang tidak seheboh di Jakarta. Namun baru saja berjalan 2 tahun saya sudah dipindah lagi yaitu ke SMA PL Van Lith Muntilan.


Per 1 Juli 2015 saya menetap di Komunitas Jln. Kartini no 1 Muntilan Jawa tengah. Tugas pokok sebagai Rektor dan Kepala Sekolah di SMA PL Van Lith. Tugas lain sebagai anggota DP FIC Provinsi Indonesia periode 2012-2018, Ketua Yayasan Pangudi Luhur Perwakilan Muntilan dan Ketua Perkumpulan dana pensiun Yadapen Semarang. Di SMP PL Van Lith menjadi kenangan tersendiri setelah 25 tahun saya menjalani hidup bakti sebagai Bruder FIC tepatnya 2 Juli 2017, saya kembali ke almamater sekolah ini. Tahun 1986 sd 1989 saya dididik di sekolah ini, kini aku diberi tugas sebagai penanggungjawab sekolah ini. Semua saya maknai sebagai panggilan dan ajakan Tuhan sendiri ke mana saya diutus. Panggilan pada hakekatnya hanya ikut Yesus tidak ada yang lain. Kemana saya diutus siap melaksanakan Sang pengutus.
Demikian sekilas pengalan hidup dan iman yang dapat saya bagikan.  Semoga dari Paroki Pelem Dukuh ada generasi muda yang terpanggil bergabung dengan Kongregasi FIC. Amin.

4 comments:

  1. 1. Perjalanan pribadi dan rohani yang menakjubkan. Dalam berkat Tuhan dan kimitmen, segala persoalan bisa diatasi. Teruslah bersetia pada komitmen.
    2. Saya kira nama panggilan simbokmu bukan "Bothak", kepala taj berambut, tetapi "buthak"
    3. Tulisan panjang sebaiknya dibagi dalam beberapa bagian berdasarkan fokus pada tiap bagian.

    JBU

    ReplyDelete
  2. Mantap Bruder semoga menginspirasi anak anak muda zaman now ...

    ReplyDelete
  3. Tetap setia ya Bruder dlm panggilan suci mu itu.

    ReplyDelete
  4. Sharing panggilan yg sangat mengasyikkan. Ada baiknya kalau sharing ini dibukukan, dgn judul: "Sharing Panggilan seorang Nrudet FIC dari lereng Menoreh".

    ReplyDelete